15 May 2015

Di Alam Baka: Uang, Paspor, dan Visa yang Berlaku

Bahwa ada berita 1 miliar manusia menderita kelaparan, memang memprihatinkan. Sesaat lamanya. Hanya sesaat saja, sebab urusan perut sendiri dan keluarga yang mesti diisi dan dompet yang harus tetap padat, tidak bisa ditunda. Nanti saja ikut menyumbang jutaan Rupiah, jika ada keuntungan sekian miliar. Berbagai urusan dunia sungguh-sungguh menyibukkan kita setiap saat. Bagaimana pundi-pundi bisa bertambah, apa yang wajib dilakukan supaya cepat naik pangkat, cara jitu yang mana agar laba bisa berlipat, dsb. Itu dan yang lainnya menjadi kewajiban yang penting sekali.

Bermacam tragedi dunia menjadi bagian dari drama di sekolah kehidupan. Kontrasnya bukan alang-kepalang. Ada orang yang harus mencari sesuap nasi setiap hari supaya hari itu pula bisa makan, walupun tidak sampai kenyang. Ada pula yang kejatuhan hoki terus-menerus sampai penghasilan ratusan juta bahkan miliaran setiap bulan menjadi peristiwa biasa baginya. Ada yang hanya mampu makan kenyang setiap 3 hari sekali, itu pun cuma nasi dan lauk sekadarnya. Ada pula yang kebingungan mau makan apa di mana malam nanti, sebab semua restoran kelas atas di muka bumi sudah pernah dicicipi. Yang satu heran kenapa yang lain bisa kaya raya dan harta tetap mengucur berlimpah. Yang lain juga heran mengapa si anu melarat terus-menerus, kendati sudah berusaha luar biasa keras.

Saking repotnya dengan bermacam urusan penting yang melelahkan, menggembirakan, membosankan, atau menggairahkan tersebut, mayoritas homo sapiens lupa akan perjalanan akhir yang pasti akan dilewati setiap orang. Mau tidak mau. Tidak mau tapi harus. Setiap dari kita, pada suatu saat yang tidak diketahui kapan dan di mana, pasti akan mengakhiri lakon kehidupannya. Kerap orang lupa akan hal yang satu dan wajib ini. Atau kurang berminat. Atau nanti saja dipikirkan lagi setelah rapat. Selagi hayat masih dikandung badan, selama bisa membeli rumah atau tanah, kumpulkan saja harta sebanyaknya. Hidup ini sebagai pembuka jalan bagi anak cucu dan generasi penerus. Neraka siapa takut. Ada tidaknya tidak ada yang tahu.

Satu yang sudah pasti. Hidup ini wajib dinikmati. Soal kematian tubuh itu nanti. Hidup harus dijalani. Sang takdir telah ditentukan. Pasrah dan ikhlas. Kalau tidak kuat dengan beban di sebuah babak drama kehidupan, maka bunuh diri dijadikan sarana mengakhiri segala kepahitan. Menuju ketiadaan. Ini kalau tidak ada lagi sesuatu di balik kematian. Alam baka itu idem dengan tidak ada apa-apa. Mati ya mati. Tidak ada rasa apa pun di sana atau di sini. Kalau tidak ada apa-apa. Kalau ada, bagaimana? Logikanya demikian: jika hidup ini tak ada sambungannya, tidak berlanjut, ya sudah. Tamat. Titik. Namun seandainya bersambung. Jika setelah hidup ini ada kehidupan lagi, dalam tataran atau dimensi lain, bagaimana? Adakah hukum sebab-akibat yang menjadi basis keadilan semesta? Tuhan tidak bermain dadu dengan ciptaanNya, tulis Albert Einstein tahun 1926. Berarti tidak ada yang namanya kebetulan, kalau Einstein benar. Bahasa Inggrisnya: random.

Menilik sejarah umat manusia di muka bumi, tidak pernah ada manusia yang mampu menghindar dari kematian tubuh. Pendekar paling sakti pun, di mana pun, suatu saat akan wafat atau gugur. Tidak terkecuali para nabi. Ada saatnya bagi setiap orang untuk pulang, kembali ke alam baka. Tidak ada rumusnya, di usia berapa seseorang akan berangkat. Namun statistik berbicara, bahwa selama beberapa dekade terakhir, sebagian besar manusia meninggalkan raganya sekitar usia 50 tahun. Fakta ini merupakan landasan ilmiah, mengapa mayoritas manusia seyogjanya sudah bersiap-siap bertahun sebelumnya. Persiapan apa dan bagaimana? Jika kita akan bepergian ke suatu tempat asing, apa yang logikanya mesti disiapkan? Jika kita akan studi lanjut ke negara tertentu, apa yang harus kita lakukan sebelumnya? Pasti kita akan sibuk oleh urusan paspor, visa, mata uang setempat, surat-surat lainnya, dsb. Jika kita sudah pasti akan meninggalkan dunia ini suatu saat yang tidak diketahui, atau rata-rata statistik di usia 55 tahun, apa yang logikanya harus kita siapkan? Paradoks dan mengherankan, hampir tidak ada yang siap! Sudahkan kita bersiap dengan paspor, visa, dan uang yang berlaku di alam baka? Jika tidak tahu, sudahkah kita berupaya untuk mencari tahu?

Paspor apa yang berlaku di alam baka? Visa yang bagaimana yang harus kita bawa? Uang jenis apa yang berlaku di akhirat? Perlukah jiwa ini diberi vaksin tertentu agar tak tertular penyakit dunia sana? Vaksin apa ya? Dan sebagainya. Sementara ini kita cukup dipuaskan oleh jawaban para agamawan. Modalnya cuma percaya, karena sama-sama tidak tahu. Jika sudah tahu, maka percaya itu tidak dibutuhkan lagi. Percaya itu hanya berlaku selama pengetahuan belum ada! Penelitian ilmiah soal pengalaman dengan kematian telah dilakukan beberapa pakar. Salah satu yang paling terkenal ialah berbagai riset yang dibuat oleh almarhumah Prof.Dr.Kuebbler Ross. Ribuan orang yang pernah mati suri memberitakan pengalaman mereka yang nyaris sama mengenai peristiwa saat meninggal beberapa saat, lalu kembali ke raga semula.


No comments:

Post a Comment