Bahwa ada
berita 1 miliar manusia menderita kelaparan, memang memprihatinkan.
Sesaat lamanya. Hanya sesaat saja, sebab urusan perut sendiri dan
keluarga yang mesti diisi dan dompet yang harus tetap padat, tidak bisa
ditunda. Nanti saja ikut menyumbang jutaan Rupiah, jika ada keuntungan
sekian miliar. Berbagai urusan dunia sungguh-sungguh menyibukkan kita setiap saat.
Bagaimana pundi-pundi bisa bertambah, apa yang wajib dilakukan supaya
cepat naik pangkat, cara jitu yang mana agar laba bisa berlipat, dsb.
Itu dan yang lainnya menjadi kewajiban yang penting sekali.
Bermacam tragedi dunia menjadi bagian
dari drama di sekolah kehidupan. Kontrasnya bukan alang-kepalang. Ada
orang yang harus mencari sesuap nasi setiap hari supaya hari itu pula
bisa makan, walupun tidak sampai kenyang. Ada pula yang kejatuhan hoki
terus-menerus sampai penghasilan ratusan juta bahkan miliaran setiap
bulan menjadi peristiwa biasa baginya. Ada yang hanya mampu makan
kenyang setiap 3 hari sekali, itu pun cuma nasi dan lauk sekadarnya. Ada
pula yang kebingungan mau makan apa di mana malam nanti, sebab semua
restoran kelas atas di muka bumi sudah pernah dicicipi. Yang satu heran kenapa yang lain bisa
kaya raya dan harta tetap mengucur berlimpah. Yang lain juga heran
mengapa si anu melarat terus-menerus, kendati sudah berusaha luar biasa
keras.
Saking repotnya dengan bermacam urusan
penting yang melelahkan, menggembirakan, membosankan, atau menggairahkan
tersebut, mayoritas homo sapiens lupa akan perjalanan akhir yang pasti
akan dilewati setiap orang. Mau tidak mau. Tidak mau tapi harus. Setiap
dari kita, pada suatu saat yang tidak diketahui kapan dan di mana, pasti
akan mengakhiri lakon kehidupannya. Kerap orang lupa akan hal yang satu
dan wajib ini. Atau kurang berminat. Atau nanti saja dipikirkan lagi
setelah rapat. Selagi hayat masih dikandung badan,
selama bisa membeli rumah atau tanah, kumpulkan saja harta sebanyaknya.
Hidup ini sebagai pembuka jalan bagi anak cucu dan generasi penerus.
Neraka siapa takut. Ada tidaknya tidak ada yang tahu.
Satu yang sudah pasti. Hidup ini wajib
dinikmati. Soal kematian tubuh itu nanti. Hidup harus dijalani. Sang
takdir telah ditentukan. Pasrah dan ikhlas. Kalau tidak kuat dengan
beban di sebuah babak drama kehidupan, maka bunuh diri dijadikan sarana
mengakhiri segala kepahitan. Menuju ketiadaan. Ini kalau tidak ada lagi
sesuatu di balik kematian. Alam baka itu idem dengan tidak ada apa-apa.
Mati ya mati. Tidak ada rasa apa pun di sana atau di sini. Kalau tidak
ada apa-apa. Kalau ada, bagaimana? Logikanya demikian: jika hidup ini tak
ada sambungannya, tidak berlanjut, ya sudah. Tamat. Titik. Namun
seandainya bersambung. Jika setelah hidup ini ada kehidupan lagi, dalam
tataran atau dimensi lain, bagaimana? Adakah hukum sebab-akibat yang
menjadi basis keadilan semesta? Tuhan tidak bermain dadu dengan
ciptaanNya, tulis Albert Einstein tahun 1926. Berarti tidak ada yang
namanya kebetulan, kalau Einstein benar. Bahasa Inggrisnya: random.
Menilik sejarah umat manusia di muka
bumi, tidak pernah ada manusia yang mampu menghindar dari kematian
tubuh. Pendekar paling sakti pun, di mana pun, suatu saat akan wafat
atau gugur. Tidak terkecuali para nabi. Ada saatnya bagi setiap orang
untuk pulang, kembali ke alam baka. Tidak ada rumusnya, di usia berapa
seseorang akan berangkat. Namun statistik berbicara, bahwa selama
beberapa dekade terakhir, sebagian besar manusia meninggalkan raganya
sekitar usia 50 tahun. Fakta ini merupakan landasan ilmiah, mengapa
mayoritas manusia seyogjanya sudah bersiap-siap bertahun sebelumnya.
Persiapan apa dan bagaimana? Jika kita akan bepergian ke suatu tempat
asing, apa yang logikanya mesti disiapkan? Jika kita akan studi lanjut
ke negara tertentu, apa yang harus kita lakukan sebelumnya? Pasti kita
akan sibuk oleh urusan paspor, visa, mata uang setempat, surat-surat
lainnya, dsb. Jika kita sudah pasti akan meninggalkan
dunia ini suatu saat yang tidak diketahui, atau rata-rata statistik di
usia 55 tahun, apa yang logikanya harus kita siapkan? Paradoks dan
mengherankan, hampir tidak ada yang siap! Sudahkan kita bersiap dengan
paspor, visa, dan uang yang berlaku di alam baka? Jika tidak tahu,
sudahkah kita berupaya untuk mencari tahu?
Paspor apa yang berlaku di alam baka?
Visa yang bagaimana yang harus kita bawa? Uang jenis apa yang berlaku di
akhirat? Perlukah jiwa ini diberi vaksin tertentu agar tak tertular
penyakit dunia sana? Vaksin apa ya? Dan sebagainya. Sementara ini kita cukup dipuaskan oleh
jawaban para agamawan. Modalnya cuma percaya, karena sama-sama tidak
tahu. Jika sudah tahu, maka percaya itu tidak dibutuhkan lagi. Percaya
itu hanya berlaku selama pengetahuan belum ada! Penelitian ilmiah soal pengalaman dengan
kematian telah dilakukan beberapa pakar. Salah satu yang paling
terkenal ialah berbagai riset yang dibuat oleh almarhumah
Prof.Dr.Kuebbler Ross. Ribuan orang yang pernah mati suri memberitakan
pengalaman mereka yang nyaris sama mengenai peristiwa saat meninggal
beberapa saat, lalu kembali ke raga semula.
No comments:
Post a Comment