Garis Kehidupan

GARIS KEHIDUPAN KITA SUDAH DITENTUKAN

Banyak orang merasa bahwa ada suratan takdir yang menentukan garis kehidupan. Para fisikawan dan peneliti saraf mengamini hal tersebut. Masa depan sudah tergariskan, seperti juga masa lalu. Pertanyaannya sekarang: dapatkah kita mengetahui masa depan, jika hal tersebut sudah ditentukan? 

Pertanyaan yang sama telah diajukan ribuan tahun silam.

Bangsa Yunani misalnya, mencoba melihat masa depan lewat usus hewan yang baru saja disembelih, atau menafsirkan mimpi-mimpi guna mengetahui kehendak para dewa atau nasib di masa mendatang. Semua fenomena alam dianggap sebagai pertanda: hujan atau petir, cacad tubuh hewan atau manusia, pertemuan yang tak disangka-sangka, terbangnya burung, lolongan anjing yang tiba-tiba, suara-suara aneh, dsb. Semua itu dapat merupakan pertanda baik atau buruk. Para imam dan nabi berkarya di tempat-tempat kudus sebagai penyambung lidah kuasa langit. Paling dikenal adalah Peramal dari Delphi, yang pada abad ketujuh dan ke-6 sebelum Masehi mempengaruhi Yunani di bidang agama dan politik. Saat itu dikisahkan mengenai Odipus, yang dinubuatkan oleh Peramal Delphi, bahwa saat dewasa ia akan membunuh ayah dan menikahi ibu kandungnya. Sang ibu coba membelokkan ramalan tersebut, tapi tindakannya malah membuat ramalan jadi kenyataan.

Di masa kini banyak orang yang percaya adanya suratan takdir yang mutlak. Walaupun hal ini jarang dijadikan topik obrolan, orang yakin bahwa garis kehidupan setiap manusia sudah ditentukan dari sononya. Kenyataan, betapa ramalan nasib sesuai horoskop masih laris manis dan banyak dibaca, membuktikan hal ini, dengan anggapan bahwa jika takdir sudah tertentu mestinya bintang-bintang juga dapat menunjukkannya.

Tetapi di balik pertanyaan, ke arah mana jalan yang akan ditempuh sang takdir, tersembunyi 2 hal ini: misteri tentang pasca-takdir dan keakuratan ramalan nasib. Apakah masa depan itu sudah pasti, dan jika ya, bagaimana kita bisa mengetahuinya?

Setidaknya pada pertanyaan pertama, para fisikawan memberi jawaban yang mencengangkan: masa depan sudah ditentukan. Menurut hukum fisika klasik Newton dan Teori Relativitas Einstein, alam semesta itu deterministik: dari kondisi awal tertentu akan menyusul kondisi susulan tertentu berikutnya. Tanpa kemungkinan untuk menyimpang, deretan konsekuensi kondisi-kondisi berikutnya sudah dapat dipastikan. Ini artinya: setiap pikiran, setiap hembusan angin, dan setiap jatuhnya sehelai daun pun sudah ditentukan sejak Dentuman Besar (Big Bang) awal terjadinya alam semesta miliaran tahun silam.

Di abad ke-18 Pierre Simon de Laplace (1749 - 1827), matematikawan dan astronom Prancis, begitu terpesona oleh konsekuensi dari determinisme, sehingga dia menemukan "Iblis Laplace“, suatu makhluk buatan yang maha cerdas. Makhluk ini benar-benar sepenuhnya total memahami kondisi alam materi pada setiap waktu. Dalam kalimat sesuai kemajuan sains saat ini, mahkluk tersebut mengetahui posisi dan kecepatan dari semua atom, semua molekul, dan semua partikel elementar.

Karena itu Laplace menyimpulkan, makhluk itu dapat meramalkan dengan tepat perjalanan alam semesta berdasarkan kaidah-kaidah fisika, termasuk perilaku setiap manusia. Bahkan ciptaan-ciptaan para jenius pun dapat diyakini Laplace dapat dipastikan sebelumnya sebagai urutan pasti dari kondisi susulan, sebagaimana kemampuan para astronom menghitung garis edar planet dan bintang ratusan tahun sebelumnya. Tidaklah penting bahwa sang iblis tidak ada secara de-facto. Kenyataan bahwa ia dapt eksis, membuktikan bahwa masa depan itu secara detil sudah digariskan.

Jawaban untuk pertanyaan yang kedua, yakni apakah kita bisa memprediksi masa depan, jika mereka sudah ditetapkan, tidak begitu mudah. Dalam perjalanan menuju realisasi praktis dari iblis Laplace, kemajuan yang telah dicapai selama ini minimal: kendati kehebatan teknologi komputer semakin dahsyat sepanjang 20 tahun terakhir, tapi seluruh memori dan prosesor di dunia tidak cukup bahkan hanya untuk menghitung “nasib“ secangkir kopi beberapa menit mendatang. Penjabaran atom-atomnya, jika ditulis di atas kertas normal ukuran standar A4, akan menghasilkan suatu gunungan lembaran kertas berisi data yang jauh melampaui batas-batas tata surya kita. Menghitung beberapa menit masa depan cangkir berdasarkan data itu bakal miliaran kali lipat melebihi kapasitas dan kemampuan seluruh komputer di dunia.

Kesulitan kedua: untuk menghitung nasib dari secangkir kopi tidaklah cukup hanya dengan mengamati dan menghitung atom-atomnya. Kita harus pula menghitung semua besaran di alam semesta ini, sebab semua bagian di alam raya saling mempengaruhi. Hanya jika kondisi keluaran dari seluruh alam materi dimasukkan, barulah penghitungan masa depan dapat dilakukan.

Rintangan prinsip lain adalah mekanika kuantum, yang ditemukan pada awal abad ke-20. Sejak saat itu, kita tahu bahwa sebuah syarat dasar di dunia deterministik Laplace keliru: kita tidak dapat bersamaan menentukan lokasi dan kecepatan suatu partikel. Tetapi jika kita tidak tahu persis awal kondisi, niscaya semua perhitungan kondisi-kondisi urutannya tidak bisa dilakukan.

Dalam mekanika kuantum, setiap partikel materi dianggap sebagai gelombang getaran atau frekuensi. Para fisikawan menggunakan apa yang disebut gelombang fungsi: partikel berlepotan di suatu wilayah ruang tertentu dan melakukan hal-hal aneh seperti menembus 2 celah bertetangga dekat secara bersamaan (ini telah diamati di lab fisika saat eksperimen!). Dengan fungsi gelombang ini sifat-sifat partikel dapat dituliskan, dan dari situ dapat dihitung probabilitas untuk menemukan kembali partikel pada lokasi tertentu.

Demikianlah telah mampu dibuktikan secara ilmiah, bahwa berbantuan mekanika kuantum dapat dihitung kondisi masa depan, sebab fungsi-fungsi gelombang mekanika kuantum itu deterministik. Jika kita tahu fungsi gelombang sebuah partikel pada saat tertentu, kita bisa menghitung fungsi-fungsi gelombangnya pada setiap masa depan. Hal yang sama juga berlaku untuk seluruh alam semesta, karena ia juga dijabarkan oleh suatu fungsi gelombang (walaupun fungsi yang ini luar biasa kompleksitasnya). Jika kita mengetahuinya pada suatu saat tertentu, kita dapat menghitung pengembangan masa depannya. Bahkan di bidang mekanika kuantum, masa depan sampai saat keabadian yang tak terhingga jauhnya, sudah tertentu. Artinya iblis Laplace bangkit kembali dalam pakaian baru.

Dukungan terhadap fisikawan diperoleh dari para peneliti saraf. Mereka ini menarik kesimpulan dari eksperimennya, yaitu: manusia tidak punya kebebasan berkehendak! Ini menghebohkan sebab kebebasan berkehendak merupakan fondasi dasar keberadaan manusia. Fakta bahwa kita tidak dipengaruhi instink seperti otomat, membedakan manusia dari hewan.

Jika perjalanan dunia sudah ditentukan, maka tidak ada kebebasan berkehendak. Jika masa depan sudah ditetapkan, kita bisa saja berlama-lama memikirkan keputusan, apa pun hasil keputusan itu, ia sudah ditentukan sebelumnya. Ini adalah perspektif heboh, yang dijadikan alasan oleh fisikawan terkemuka Sir Arthur Eddington untuk merokok: “Makna apa yang timbul dalam berdiskusi dengan saya, apakah saya harus berhenti merokok, jika hukum-hukum alam semesta sudah menggariskan takdir esok hari, bahwa konfigurasi materi akan terbentuk, yang terdiri dari pipa, tembakau, dan asap cerutu, menjadi satu dengan bibir saya?“

Menariknya, kebanyakan orang hidup dengan pandangan dunia yang paradoks, tanpa terlilit problem besar. Mereka percaya, bahwa garis kehidupan ini sudah tertentu, dan bersamaan dengan itu juga percaya, bahwa mereka setiap saat bebas berkehendak. Tampaknya kedua hal ini tidak bisa eksis bersama-sama: takdir dan kebebasan berkehendak. Para peneliti menyimpulkan hal ini setelah percobaan pada pasien yang tengkorak kepalanya harus dibuka untuk alasan medis. Jika wilayah tertentu yang tidak menimbulkan sakit di otak besar diberi kejutan listrik via elektroda, maka lengan akan diangkat. Pasien yang ditanya alasan mengangkat lengan itu menjawab, bahwa hal itu mereka yang lakukan. Namun hal ini tidak mungkin, karena rangsang kejutan dipicu dari luar, bukan dari saraf sang pasien.

Mungkin saja ada sedikit celah di dinding determinisme, yang bisa dilewati kebebasan berkehendak. Ini merupakan langkah berani dalam berasumsi, sebab kebebasan berkehendak harus menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak selaras dengan hukum alam. Manusia adalah bagian dari alam, dan jika alam deterministik, maka begitu pula perilaku manusia. Manusia dapat mengklaim kebebasan berkehendak jika ia berhasil meniadakan hukum alam. Namun kejadian seperti itu belum pernah diamati.

Di mana mungkin ada titik awal, menunjukkan berlakunya mekanika kuantum. Kendati ia menjelaskan keberadaan sepenuhnya logis dan deterministik melalui fungsi gelombang, namun ada yang aneh, bahkan setelah lebih dari 80 tahun masih selalu belum dipahami: kolapsnya gelombang fungsi. Istilah ini merujuk pada saat, jika kita melakukan pengukuran pada partikel elementar, misalnya, penentuan lokasi. Hingga saat itu partikel dijelaskan oleh fungsi gelombang: tersebar di wilayah yang relatif lebih luas, partikel punya kemungkinan-kemungkinan posisi. Pada saat pengukuran itulah terjadi kolapsnya kemungkinan. Yang tetap tinggal adalah satu-satunya kenyataan: lokasi sebenarnya sang parikel. Melalui pengukuran itu kita memaku partikel elementar. Di posisi mana kita akan menemukan partikel itu tidak mungkin diprediksi. Pengulangan percobaan di bawah kondisi yang 100% sama akan menghasilkan hasil yang berbeda. Setelah ribuan percobaan yang sama, akan ditemukan kembali kedistribusi kemungkinan, yang sudah diatur oleh fungsi gelombang.

Pada saat pengukuran terjadi sesuatu yang tidak deterministik - dan ini dapat menjadi lubang kecil, yang bisa dilewati kebebasan berkehendak. Mungkin fungsi gelombang akan runtuh di otak kita pada tingkat atom, yang mempengaruhi kebebasan berkehendak tanpa bisa dijelaskan, bagaimana hal ini terjadi. Harus disadari, tak ada bukti akan hal ini. Tetapi yang sebaliknya pun juga tidak bisa dibuktikan, sebab belum ada seorang pun yang pernah meneliti kondisi kuantum dalam otak manusia.

No comments:

Post a Comment